Jumat, 04 Februari 2011

Mengenal Sejarah Blambangan

Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di kawasan Blambangan, sebelah selatan Banyuwangi. Raja yang terakhir menduduki singgasana adalah Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir era Majapahit. Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Jawa.

Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah Kerajaan Bali. Usaha penaklukan kerajaan Mataram Islam terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.
Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).

Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.

SITUS-SITUS BUMI BLAMBANGAN

- Makam-Makam Bupati Banyuwangi
Barat pengimaman masjid Baiturrohman terdapat makam-makam bupati Banyuwangi antara lain : Wiroguno II (1782-1818), Suronegoro (1818-1832), Wiryodono Adiningrat (1832-1867), Pringgokusumo (1867-1881), Astro Kusumo (1881-1889), sedangkan Bupati pertama Banyuwangi Mas Alit (1773-1781) gugur dan dimakamkan di Karang Asem Sedayu. Hanya bajunya saja yang dikebumikan di taman pemakaman tersebut.

- Masjid Jami’ Baiturrohman
Tanah wakaf dari masa (Wiroguno I) yang direhap pertama kali pada masa Raden Tumenggung Pringgokusumo. Dulu terdapat kaligrafi bertuliskan Allah Muhammad yang ditulis oleh Mas Muhammad Saleh dengan pengikutnya Mas Saelan. Mulai tahun 2005 sampai sekarang Masjid ini masih dalam tahap renovasi dan akan menjadi salah satu aikon Banyuwangi setelah selesai di renovasi.

- Sumur Sri Tanjung
Ditemukan pada masa Raden Tumenggung Notodiningrat (1912-1920). Terletak di timur Pendopo Kabupaten. Sri tanjung dan Sidopekso merupakan legenda turun-menurun yang merupakan kisah asmara dan kesetiaan yang merupakan cikal bakal Banyuwangi.
Konon jika sewaktu-waktu air sumur berubah bau menjadi wangi maka itu akan menjadi suatu pertanda baik / buruk yang akan menimpa suatu daerah ataupun bangsa ini.


- Musium Blambangan
Berlokasi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Awalnya didirikan oleh Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Selamet yang berkuasa pada tahun (1966-1978) di kompleks pendopo Kabupaten Banyuwangi namun pada tahun 2004 Musium direlokasikan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi hingga sekarang.
Koleksi yang dimiliki oleh museum antara lain: Berbagai macam kain batik, contoh rumah adat using Banyuwangi, kain-kain dari masa lampau, replica seni musik angklung, aneka macam senjata perang, alat-alat musik peninggalan Belanda, dan yang paling menarik perhatian pengunjung untuk melihat replica Barong dan penari Gandrong yang menjadi simbol Kota Banyuwangi

- Sonangkaryo
Sonangkaryo adalah umbul-umbul kerajinan Blambangan, menurut Mishadi hasil wawancara dengan Sayu Darmani (Tumenggungan) bahwa ibunya yang bernama Sayu Suwarsih telah lama menyimpan Sonangkaryo tersebut, namun ketika dirasa tidak kuat lagi mengemban amanah tersebut, maka dibuanglah satu kotak pusaka yang berisi umbul-umbul Sonangkaryo, Cemeti, dan Lebah penari musuh.

- Tugu TNI 0032
Taman Makam pahlawan yang terletak di bibir pantai Boom merupakan pertempuran tentara laut NKRI yang dipimpin oleh Letnan Laut Sulaiman melawan AL, AD, dan AU Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Tugu tersebut disahkan oleh Presiden RI yang pertama yaitu Bung Karno.

- Benteng Ultrech (Kodim)
Berada di batas selatan markas Kodim, dulu terdapat rumah nuansa Portugis yang dijadikan sebagai tempat pengintaian Balanda terhadap gerak-gerik orang Blambangan di pendopo pada masa pemerintahan Mas Alit.

- Inggrisan
Dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1766-1811, yang luasnya sekitar satu hektar, merupakan markas yang dulunya bernama Singodilaga, kemudian diganti dengan nama Loji (Inggris = Lodge, artinya penginapan / pintu penjagaan) yang disekitarnya dibangun lorong-lorong terhubung dengan Kali Lo (Selatan), dan Boom (Timur) akhirnya diserahkan kepada Inggris setelah Belanda kalah perang (Sumber Java’s Last Frontier, Margono. 2007),selatan berupa perkantoran yang disebut Bire (Sekarang Telkom) dan kantor pos, di daerah tersebut pernah terjadi peristiwa yang hamper mirip dengan peristiwa di hotel Yamato, Surabaya, yaitu orang-orang Blambangan dengan berani merobek bendera belanda yang berwarna merah putih biru menjadi merah putih saja.
Depan Inggrisan terdapat Tegal Loji, selatannya adalah perkampungan Belanda (Kulon dam), timurnya adalah Benteng Ultrech dan tempat penimbunan kayu gelondongan (sekarang Gedung Wanita) sebelah utara dulu sebagai kantor regent dan garasi kuda mayat (sekarang Bank Jatim) dan perumahan Kodim sekarang, dulu adalah markas polisi Jepang / kompetoi lalu jaman Belanda dijadikan perumahan svout.

- Makam Datuk Malik Ibrahim
Salah satu Waliyullah keturunan Arab Saudi yang banyak di kunjungi peziarah dari dalam dan luar Banyuwangi terletak di Desa Lateng Banyuwangi.

- Konco Hoo Tong Bio<
Terletak di Pecinan kecamatan kota Banyuwangi pada waktu terjadi pembantaian orang-orang Cina oleh VOC di Batavia, seorang yang bernama Tan Hu Cin Jin dari dratan Cina yang menaiki perahu bertiang satu.
Perahu tersebut kandas di sekitar pakem dan Tan Hu Cin Jin memutuskan menetap di wilayah Banyuwangi. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikanlah klenteng Hoo Tong Bio.
Setiap tanggal 1 bulan Ciu Gwee (kalender cina), pada tengah malam sebelum tahun baru diadakan sembahyang bersama. Dalam acara tahun baru Imlek kesenian barong Said an Kong-kong ditampilkan, kemudian ada sebuah acara yang disebut Cap Go Mee dirayakan pada hari ke 15 sesudah tahun baru Imlek, dengan mengarak patung yang Maha Kong Co Tan Hu Cin Jin keliling disekitar kampung pecinan. Hal ini dimaksud kan untuk menolak bala’ dan mengharap berkah kepada Tuhan. Acara ini dimiriahkan dengan tarian barongsai dan berbagai kesenian daerah lainnya. Makanan khas yang disajikan adalah lontong Cap Go Mee.

Tak hanya itu, Hari ulang tahun tempat ibadah Tri Dharma “Hoo tong Bio” yang dibangun pada tahun 1781, ucapan itu bertujuan untuk memperingati kebesaran yang mulia Kong Co Tan Hu Cin Jin dan biasanya doadakan pd tanggal 27 Agustus.

- Watu Dodol
Sebuah batu besar terletak di daerah ketapang yang pernah ditarik oleh kapal Jepang, pernah dijadikan benteng pertahanan Jepang pada masa perang dunia II, dan pada maa setelah kemerdekaan dijadikan tempat pendaratan Belanda antara lain 14 April 1946 yang mendapatkan perlwanan orang Banyuwangi dibawah kepemimpinan Pak Musahra (orang tua dari Lurah Astroyu), 20 Juli 1946 Belanda mendapatkan perlawanan dari Yon Macan Putih yang dipimpin oleh Raden Abdul Rifa’I dan Letnan Ateng Yogasana, 21 Juli 1947, Yon Macan Putih yang berhasil menenggelamkan kapal dan tengker milik Belanda.
Sejak dahulu kala tempat ini dijadikan tempat Upacara Agama Hindu yaitu Jala Dipuja / Melasti / Melayis yang di maksud untuk memohon anugerah dari penguasa laut, pelaksanaannya bertepatan pada saat mentari bergeser ke Utara khatulistiwa sebelum datangnya hari raya Nyepi.
Upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang memberkati umatnya dengan cara mencipratkan “Tirta Suci” yaitu air suci yang diambil dari sumur pitu (tujuh sumber air)

4 komentar:

  1. banyak mengenang cerita sejarah semakin kita bertambahnya motivasi tu bersemangat ,,,,mohon ditamabah cerita sejarah banyuwanginya,,,aku pingin tau selengkapnya kenapa bisa di namai kota banyuwangi,,,makasi atas perhatiannya???

    BalasHapus
  2. arti jenggirat tangi itu apa sih?

    BalasHapus
  3. jenggirat tangi = bangun dengan segera!!

    BalasHapus