Mendengar suara nyamuk, rasanya begitu berisik. Padahal nyamuk itu kecil gak sampe sebesar klingking tangan kiri saya. Bukan lantaran suaranya saya merasa terusik dan berisik tapi lantaran suara itu pertanda nyamuk akan menggigit kulit pori-pori saya. Selain itu, adanya nyamuk di tempat kita berada, menjadi pertanda bahwa lingkungan kita kotor. Nyamuk adalah indicator tempat kita kotor
Bukan, nyamuk bukanlah satu makhluk yang bertugas membersihkan lingkungan kita yang kotor. Nyamuk hanya bertugas mengingatkan kita untuk senantiasa membersihkan lingkungan. Nyamuk hanya mengingatkan kita, supaya kita mau bersih-bersih dan memperbaiki keadaan (sikap) yang mengakibatkan lingkungan kita kotor.
Mari kita kaitkan, jika dalam suatu organisasi telah tercipta suasana dan sikap yang kotor, rusak dan perlu perbaikan. Maka akan muncul “nyamuk-nyamuk” yang berisik dan siap untuk menggigit rasa mapan penguasa organisasi. Penguasa organisasi bertipe apa pun akan merasa terusik dan merasa terganggu dengan adanya “nyamuk-nyamuk berisik”. Namun hanya sedikit yang mengerti bahwa pengkritik (dalam hal ini dianalogkan sebagai nyamuk) ada sebagai pengingat bahwa keadaan sudah mulai kotor dan rusak, oleh karenanya sang pemimpin (penguasa) wajib berbenah diri. Itu pun jika pemimpinnya lurus serta mau mengerti. Jika tidak, pemimpin itu akan malah menutup mata serta telinganya.
Ada dua kemungkinan sikap yang bakal diambil dari penguasa organisasi. Jika penguasa organisasi itu berkarakter otoriter, ia akan mengambil sikap “membunuh nyamuk-nyamuk yang ada di sekitar”, melalui berbagai cara yang dipandangnya efektif. Bisa dengan mengkebiri ruang geraknya di tubuh organisasi itu atau juga bisa dengan mematikan sama sekali kiprah para pengkritik di organisasi itu. Lalu bisa juga dengan menawarinya “sesuatu” agar ia bungkam. Cara kedua ialah, jika penguasa itu berkarakter bijaksana dan mampu bersikap dewasa, terlebih dahulu, yang akan ia lakukan ialah membenahi/membersihkan lingkungannya yang kotor serta cara bersikap yang mengakibatkan organisasinya menjadi rusak. Niscaya “nyamuk-nyamuk” itu akan dengan senang hati menghilang untuk sementara waktu sampai organisasi itu kotor kembali.
Suatu ketidakdewasaan jika penguasa (pimpinan organisasi/pemimpin organisasi) tidak bisa menerima para pengkritik ada di sekitarnya padahal ia tau tak akan ada organisasi yang sempurna. Terlebih di Indonesia yang menggunakan system demokrasi, dimana mewajibkan masing-masing manusia mempunyai kuasa serta suara. Dalam system ini, masing-masing manusia dibebaskan untuk mengkritik sejauh batasan-batasan yang diperbolehkan (yang disepakati).
Tidak adil rasanya, jika kita insan organisasi hanya menerima demokrasi ketika muktamar saja (musyawarah tertinggi dalam tubuh organisasi) sedangkan di luar itu tidak. Tipe pemimpin yang berkarakter fasis (mau menang sendiri tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat organisasi) harus diminimalisir jika tidak bisa dihilangkan. Tipe pemimpin fasis bisa dipastikan ia otoriter serta tidak mau menerima kritik. Dan akan cenderung menggunakan cara pertama dalam menyikapi “nyamuk”/pengkritik. Ia akan memberangus para pengkritik sehingga organisasi akan tetap dalam keadaannya yang rusak.
Pemimpin seperti itu pasti akan sangat merasa terusik, terganggu dan bising jika ada pengkritik di sekitarnya. Ia tak akan mau sedikit pun membuka telinganya, yang ia bisa lakukan ialah tutup telinga lalu “membunuhi nyamuk-nyamuk” di sekitarnya. Pemimpin seperti ini, pro status quo dan anti perubahan. Mau serusak apa pun organisasinya yang penting ia merasa nyaman, telinganya akan sengaja ia tulikan serta matanya akan dengan sengaja ia butakan.
Mau berdialog dengan para pengkritik adalah pertanda seorang pemimpin mau membuka diri, membuka telinga, serta membuka mata. Ini solusi agar organisasi, kendaraan tempatnya menuju cita-cita tertentu tetap dalam keadaan sehat. Para pengkritik atau nyamuk-nymuk berisik akan senantiasa ada dan niscaya ada sebagai pengingat satu rumah organisasi telah kotor dan harus sesegera mungkin dibersihkan atau siapa lagi yang bakal mengingatkan bahwa organisasi tengah rusak dan harus sesegera mungkin diperbaiki. Sikap yang tidak tepat jika malah membunuhi nyamuk-nyamuk, karena siapa lagi yang bertugas mengingatkan serta mencegah organisasi hancur lantaran tak ada pengingat.
Bukan, nyamuk bukanlah satu makhluk yang bertugas membersihkan lingkungan kita yang kotor. Nyamuk hanya bertugas mengingatkan kita untuk senantiasa membersihkan lingkungan. Nyamuk hanya mengingatkan kita, supaya kita mau bersih-bersih dan memperbaiki keadaan (sikap) yang mengakibatkan lingkungan kita kotor.
Mari kita kaitkan, jika dalam suatu organisasi telah tercipta suasana dan sikap yang kotor, rusak dan perlu perbaikan. Maka akan muncul “nyamuk-nyamuk” yang berisik dan siap untuk menggigit rasa mapan penguasa organisasi. Penguasa organisasi bertipe apa pun akan merasa terusik dan merasa terganggu dengan adanya “nyamuk-nyamuk berisik”. Namun hanya sedikit yang mengerti bahwa pengkritik (dalam hal ini dianalogkan sebagai nyamuk) ada sebagai pengingat bahwa keadaan sudah mulai kotor dan rusak, oleh karenanya sang pemimpin (penguasa) wajib berbenah diri. Itu pun jika pemimpinnya lurus serta mau mengerti. Jika tidak, pemimpin itu akan malah menutup mata serta telinganya.
Ada dua kemungkinan sikap yang bakal diambil dari penguasa organisasi. Jika penguasa organisasi itu berkarakter otoriter, ia akan mengambil sikap “membunuh nyamuk-nyamuk yang ada di sekitar”, melalui berbagai cara yang dipandangnya efektif. Bisa dengan mengkebiri ruang geraknya di tubuh organisasi itu atau juga bisa dengan mematikan sama sekali kiprah para pengkritik di organisasi itu. Lalu bisa juga dengan menawarinya “sesuatu” agar ia bungkam. Cara kedua ialah, jika penguasa itu berkarakter bijaksana dan mampu bersikap dewasa, terlebih dahulu, yang akan ia lakukan ialah membenahi/membersihkan lingkungannya yang kotor serta cara bersikap yang mengakibatkan organisasinya menjadi rusak. Niscaya “nyamuk-nyamuk” itu akan dengan senang hati menghilang untuk sementara waktu sampai organisasi itu kotor kembali.
Suatu ketidakdewasaan jika penguasa (pimpinan organisasi/pemimpin organisasi) tidak bisa menerima para pengkritik ada di sekitarnya padahal ia tau tak akan ada organisasi yang sempurna. Terlebih di Indonesia yang menggunakan system demokrasi, dimana mewajibkan masing-masing manusia mempunyai kuasa serta suara. Dalam system ini, masing-masing manusia dibebaskan untuk mengkritik sejauh batasan-batasan yang diperbolehkan (yang disepakati).
Tidak adil rasanya, jika kita insan organisasi hanya menerima demokrasi ketika muktamar saja (musyawarah tertinggi dalam tubuh organisasi) sedangkan di luar itu tidak. Tipe pemimpin yang berkarakter fasis (mau menang sendiri tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat organisasi) harus diminimalisir jika tidak bisa dihilangkan. Tipe pemimpin fasis bisa dipastikan ia otoriter serta tidak mau menerima kritik. Dan akan cenderung menggunakan cara pertama dalam menyikapi “nyamuk”/pengkritik. Ia akan memberangus para pengkritik sehingga organisasi akan tetap dalam keadaannya yang rusak.
Pemimpin seperti itu pasti akan sangat merasa terusik, terganggu dan bising jika ada pengkritik di sekitarnya. Ia tak akan mau sedikit pun membuka telinganya, yang ia bisa lakukan ialah tutup telinga lalu “membunuhi nyamuk-nyamuk” di sekitarnya. Pemimpin seperti ini, pro status quo dan anti perubahan. Mau serusak apa pun organisasinya yang penting ia merasa nyaman, telinganya akan sengaja ia tulikan serta matanya akan dengan sengaja ia butakan.
Mau berdialog dengan para pengkritik adalah pertanda seorang pemimpin mau membuka diri, membuka telinga, serta membuka mata. Ini solusi agar organisasi, kendaraan tempatnya menuju cita-cita tertentu tetap dalam keadaan sehat. Para pengkritik atau nyamuk-nymuk berisik akan senantiasa ada dan niscaya ada sebagai pengingat satu rumah organisasi telah kotor dan harus sesegera mungkin dibersihkan atau siapa lagi yang bakal mengingatkan bahwa organisasi tengah rusak dan harus sesegera mungkin diperbaiki. Sikap yang tidak tepat jika malah membunuhi nyamuk-nyamuk, karena siapa lagi yang bertugas mengingatkan serta mencegah organisasi hancur lantaran tak ada pengingat.
Semoga Bapak Anas selalu menjadi pemimpin yang bijaksana, yang mau menerima kritik dan saran, yang mampu merangkul semua golongan dan selalu mementingkan rakyatnya. saya banyak belajar dari tulisan-tulisan Bapak.
BalasHapussebuah perspektif yang bijak, Pak Bupati! smg semua pemimpin di BWI termasuk golongan yang bijak dan legowo dalam menerima kritikan dan saran...semua demi kebaikan bersama.
BalasHapusya kalau ngga ada kritik dan sesuatu yang membangun nanti biasanya lupa diri dan lupa daratan....mendingan d kritik saja, asal kritik membangun dan untuk kemajuan Banyuwangi
BalasHapus